Minggu, 11 April 2010

NASIONALISME DAN HAM

ARTIKEL

NASIONALISME DAN HAM


TUJUH puluh enam tahun silam, tepatnya 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia
yang dimotori kaum muda telah membuat sejarah besar. Kongres Pemuda yang
berlangsung saat itu berhasil merumuskan Sumpah Pemuda yang terdiri dari
tiga poin: pengakuan akan satu tumpah darah, tumpah darah Indonesia, satu
bangsa, bangsa Indonesia, dan satu bahasa, bahasa Indonesia. Gagasan ini
melahirkan sebuah konsep bangsa Indonesia yang tidak mengacu pada etnis,
meliputi semua penduduk yang mendiami wilayah tertentu dan menggunakan satu
bahasa kesatuan Indonesia. Konsep ini semakin efektif ketika Indonesia Muda
sebagai fusi organisasi pemuda tidak memperkenankan lagi nama-nama
organisasi seperti Jong Java, Jong Celebes, Pemuda Sumatera, dll.
Selanjutnya, melalui perjuangan panjang cita-cita membangun negara-bangsa
Indonesia akhirnya tercapai dengan kemerdekaan tahun 1945. Kemerdekaan ini
dapat dikatakan sebagai puncak keberhasilan nasionalisme sebagai suatu
nilai. Namun, bila dikaitkan dengan situasi saat ini, banyak orang berpikir
apakah nasionalisme masih relevan untuk menyelesaikan konflik di Aceh,
Ambon, dan Papua. Demi mempertahankan NKRI, pemerintah seolah tak ada
pilihan lain selain mengedepankan pendekatan keamanan, sebagai akibatnya
timbullah permasalahan, apakah atas nama persatuan prinsip HAM harus
diabaikan? Apakah nasionalisme harus didahulukan dari HAM? Ataukah kedua
nilai tersebut dapat berjalan beriringan?
Untuk menjelaskan hubungan nasionalisme dan HAM tersebut maka di sini
diajukan pemikiran Jurgen Habermas (The European Nation-State. Its
Achievements and Its Limits) yang mengupas konsep Kewarganegaraan
(citizenship) dalam negara-bangsa.
Negara-bangsa modern mengandung dua nilai yaitu nilai republiken dan
nasionalisme. Keduanya menyatu membentuk konsep kewarganegaraan, sebagai
akibatnya bangsa dalam arti modern juga memiliki dua arti: pertama, bangsa
prapolitik yang dimengerti sebagai komunitas yang memiliki kesamaan sejarah,
budaya, bahasa, dan mendiami wilayah tertentu. Kedua, bangsa dalam arti
politik yaitu komunitas yang dibentuk oleh warga negara yang memiliki
kedaulatan politik dan secara aktif membangun tatanan politik.
Kewarganegaraan merupakan kata kunci karena di dalamnya mengandung arti
aktivasi politik rakyat yang menjadi landasan terbentuknya suatu identitas
nasional baru. Melalui kedaulatan rakyat, negara mendapat sumber legitimasi
dan melakukan integrasi sosial. Dalam konteks ini pula nasionalisme dapat
dipahami sebagai suatu nilai yang menstimulasi partisipasi politik rakyat ke
arah kesadaran akan statusnya sebagai warga negara. Pengakuan akan
kedaulatan rakyat di sini mengisyaratkan adanya pengakuan adanya hak-hak
sipil sekaligus hak asasi manusia.
Suatu ketegangan bisa saja terjadi antara penerapan nilai republiken yang
menekankan aspek legal-egaliter dan bercorak universal dengan nilai
nasionalisme yang bertumpu pada pemahaman bangsa prapolitik. Namun,
permasalahan ini dapat diselesaikan dengan penerapan prinsip HAM yang
merupakan bagian dari nilai-nilai republiken. Dikatakan demikian karena
nilai ini lebih menekankan pemahaman bahwa bangsa terdiri dari warga negara
yang berdaulat dan bukan atas interpretasi etnosentris. HAM di sini juga
berlaku sebagai acuan untuk menghadapi nilai-nilai yang berorientasi
partikularistik serta menjadi pedoman untuk membangun struktur politik yang
sesuai dengan nilai-nilai universal.
Terkait dengan konflik-konflik di Aceh, Ambon, dan Papua, kerangka pemikiran
di atas dapat menjadi acuan bagi kita untuk tidak lagi memahami nasionalisme
sebagai pemikiran untuk mempersatukan wilayah semata, namun juga sebagai
suatu nilai untuk menstimulasi aktivasi politik rakyat menuju kesadaran
sebagai warga negara yang berdaulat dan secara aktif membangun keberadaan
negara. Kewarganegaraan hendaknya menjadi landasan untuk membangun bangsa
Indonesia, menjadi inspirasi tiap penduduk yang tinggal terpencar bahwa
mereka adalah warga dari republik yang sama. Selain itu, kewarganegaraan
juga menjadi identitas nasional yang baru yang pada akhirnya menumbuhkan
suatu kesadaran adanya satu bangsa di mana tiap-tiap warga negara
bertanggung jawab satu sama lain. Dengan pemahaman konsep kewarganegaraan
ini maka nilai nasionalisme dapat didamaikan dengan prinsip HAM



Media Indonesia
Selasa, 02 November 2004
Sari Soenardi, Kandidat Doktor Filsafat UI


[Non-text portions of this message have been removed]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar