Minggu, 11 April 2010

Nasionalisme SBY-Amien

Artikel

OPINI LEMBAGA - ARTIKEL
Nasionalisme SBY-Amien
Seputar Indonesia (23/05/2008)
Pada mulanya hanyalah sebuah kata, nasionalisme.Namun seiring perkembangan peradaban manusia, kata itu menyeruak, populer dan menjadi bahan perdebatan sepanjang sejarah.

Pasca-Perang Dunia I hingga kini, tak ada dunia yang steril dari pengaruh nasionalisme. Bangsa Indonesia memperoleh spirit luar biasa untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang, juga karena kesadaran nasionalisme. Orde Lama menjalin hubungan strategis dengan Blok Timur dan mengecam habis Blok Barat juga atas nama nasionalisme. Begitu pun saat Orde Baru berkuasa.



Aliran modal dari Barat ke Indonesia— oleh Presiden Soeharto—dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Bangkitnya ekonomi juga dilandasi semangat kecintaan kepada tanah air (nasionalisme). Artinya nasionalisme itu relatif. Tak pernah ada tafsir general yang diterima seluruh penduduk bumi.Nasionalisme tumbuh subur dan mekar bersama keunikan dan tantangan bangsa masing-masing.

Lalu apa sebenarnya nasionalisme itu? Secara bebas,nasionalisme dapat kita terjemahkan sebagai satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang disebut bangsa (dalam bOPINI LEMBAGA - ARTIKEL
Nasionalisme SBY-Amien
Seputar Indonesia (23/05/2008)
Pada mulanya hanyalah sebuah kata, nasionalisme.Namun seiring perkembangan peradaban manusia, kata itu menyeruak, populer dan menjadi bahan perdebatan sepanjang sejarah.

Pasca-Perang Dunia I hingga kini, tak ada dunia yang steril dari pengaruh nasionalisme. Bangsa Indonesia memperoleh spirit luar biasa untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang, juga karena kesadaran nasionalisme. Orde Lama menjalin hubungan strategis dengan Blok Timur dan mengecam habis Blok Barat juga atas nama nasionalisme. Begitu pun saat Orde Baru berkuasa.



Aliran modal dari Barat ke Indonesia— oleh Presiden Soeharto—dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Bangkitnya ekonomi juga dilandasi semangat kecintaan kepada tanah air (nasionalisme). Artinya nasionalisme itu relatif. Tak pernah ada tafsir general yang diterima seluruh penduduk bumi.Nasionalisme tumbuh subur dan mekar bersama keunikan dan tantangan bangsa masing-masing.

Lalu apa sebenarnya nasionalisme itu? Secara bebas,nasionalisme dapat kita terjemahkan sebagai satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang disebut bangsa (dalam bahasa Inggris ”nation”).Dalam perkembangan sejarah, nasionalisme lalu dibenturkan dengan internasionalisme dan globalisasi.

Benturan dengan internasionalisme terjadi pada era 1940 hingga 1960-an, ketika komunisme internasional tengah kuatkuatnya. Bagi negara-negara komunis (di bawah kendali Uni Soviet),paham nasionalisme justru menjadi penghambat terciptanya masyarakat komunis dunia. Internazionale tak melihat begitu penting batas-batas negara.

Pada awal 1990-an, nasionalisme boleh dikatakan ”memenangi”pertarungan melawan internasionali sme, setelah Uni Soviet bubar.Namun bukan berarti nasionalisme dapat berlama- lama menggelar pesta kemenangan. Musuh baru yang lebih kuat telah menanti, yaitu globalisasi, yang didefinisikan sebagai suatu kondisi yang merujuk terjadinya peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia.

Ketergantungan dimaksud dalam hal perdagangan,investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.Meski demikian,setelah berjalan hampir dua dasawarsa, toh nasionalisme tak juga tergerus ombak besar globalisasi.Pada 2008 ini atau seabad lahirnya nasionalisme Indonesia modern (Budi Oetomo) orang masih memperbincangkan dan mengibarkan semangat nasionalisme.

Salahkah itu? Tentu saja tidak karena mencintai bangsa adalah sebuah keniscayaan. Hanya, kita lagi-lagi terbelah dalam pemaknaan nasionalisme di era kini.Ada pihak yang mengibarkan bendera nasionalisme dengan tafsir kaku,sementara yang lain mengusung nama nasionalisme dengan semangat baru.Walau demikian, tujuan kedua pihak tetap sama, yaitu agar kemiskinan dapat dikurangi dan kesejahteraan rakyat ditingkatkan.

Beda Gaya Amien-SBY

Jika boleh mengelompokkan, nasionalisme kontemporer Indonesia saat ini setidaknya diwakili oleh gerakan nasionalisme ala Amien Rais (AR) dan nasionalisme ala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).Pengelompokan ini tentu subjektif penulis. Tetapi pada intinya ingin menunjukkan perbedaan-perbedaan antarkeduanya.

Nasionalisme AR cenderung menggelora dan antiasing.Beberapa kali AR menerjemahkan nasionalisme dalam bentuk tersebut. Sebagaimana ditulis Tigun Wibisono pada Februari 2003,saat masih menjabat Ketua MPR,Amien mengatakan hal itu di hadapan para mahasiswa Indonesia di New York.

”Kalau republik ini sudah bubar,bolehlah. Yang dianggap melanggar HAM dibawa ke International Tribunal.Tapi selama republik ini berdiri kokoh,tidak ada satu pun warga negara Indonesia yang dibawa atas dasar apa pun ke mahkamah internasional!” Pernyataan AR tersebut adalah respons atas rekomendasi Pengadilan Timor Leste yang menuntut agar pimpinan TNI dibawa ke mahkamah internasional.

Tentu saja kita agak heran dengan pernyataan seperti itu.Pasalnya, jika kita mau jujur,Orde Baru juga melakukan pelanggaran atas Timor Timur di masa lalu. Isu yang sama, tapi berbeda cara pendekatannya, dilakukan Presiden SBY untuk memecahkan kebuntuan diplomasi RI-Timor Leste.SBY bukan tipe pemimpin yang bicara berapi-api. Sebaliknya, dia cenderung memilih liku-liku jalan diplomasi.

Jika pemerintahan Mega dan Gus Dur tak membuat banyak terobosan terkait peningkatan hubungan RI-Timor Leste, maka SBY berhasil melakukannya melalui Comission of Truth and Friendship (CTF). Dengan komisi ini, pelanggaran kedua belah pihak di masa konflik cukup diselesaikan di kedua negara, tidak perlu membawa ke Den Haag (Mahkamah Internasional).Artinya tujuan itu sama dengan kutipan pernyataan AR yang cukup menggelora di atas.

Begitu pun dalam penanganan konflik Aceh.Harus diakui bahwa di masa Pemerintahan SBY inilah damai Aceh benar-benar terwujud.SBY memilih liku-liku diplomasi untuk menyelesaikan gerakan separatisme Gerakan Aceh Merdeka (GAM).Termasuk memberikan ”konsesi” kepada para mantan tentara GAM.AR justru mencurigai kesepakatan damai antara pemerintah dan GAM.

Ia menilai memorandum of understanding (MoU) pemerintah dan GAM sebagai sesuatu yang kebablasan (tempointeraktif. com,25 Agustus 2005).Setelah 30 tahun memberontak, mengapa pada 2005 GAM benar-benar menghentikan kegiatannya? Tak lain adalah adanya rasa saling percaya antara kedua belah pihak.Ini sangat penting dalam penanganan konflik separatisme di berbagai belahan dunia.Yang pasti, tujuan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kembalinya GAM ke tengah-tengah masyarakat telah tercapai.

Nasionalisme Ekonomi

Pada isu nasionalisme ekonomi, SBY dan AR kerap dipersepsikan berada pada posisi yang seolah-olah bersebarangan. Seperti yang kita lihat pada isu ExxonMobil di Blok Cepu dua tahun lalu.Penunjukan ExxonMobil sebagai operator kilang minyak di Blok Cepu dituduh sebagai perendahan harga diri bangsa.AR bahkan menuduh pemerintah telah merampok uang negara triliunan dolar untuk kepentingan perusahaan Amerika.

Bagi masyarakat awam, tuduhan-tuduhan tersebut tentu bisa membangkitkan heroisme dan semangat perlawanan yang berbahaya dan menyimpang. Atas nama nasionalisme, masyarakat bisa dimobilisasi dan diprovokasi. Isu nasionalisme dengan mengangkat kasus ExxonMobil telah menyempitkan arti nasionalisme dan mengidentikkannya dengan antinegara lain.

Padahal, persoalan yang diperdebatkan dalam kasus ExxonMobil sebenarnya lebih bersifat teknis,bukan persoalan harga diri bangsa apalagi ditarik pada persoalan nasionalisme. Karena, sesuai Undang-Undang No 8/1971, negara memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investor untuk ”membantu”Pertamina mengeksplorasi minyak. Undang-undang ini lahir karena kemampuan negara baik dalam hal dana maupun sumber daya manusia sangat terbatas.

Bahkan pada masa pemerintahan Megawati UU tersebut diganti dengan Undang- Undang Migas No 22/2001 yang sebenarnya semakin mengecilkan peran Pertamina dalam monopoli eksplorasi minyak dan gas bumi. Bahkan melalui UU tersebut Pertamina dijadikan sebuah perseroan yang perannya semakin ”terbatas”.

Kalau penunjukan ExxonMobil dianggap sebagai pemerkosaan terhadap nasionalisme, maka UU yang lahir pada masa pemerintahan Megawati tersebut bisa dianggap sebagai biang antinasionalisme (A Bakir Ihsan,2006). Garis kebijakan SBY terkait investasi asing (kontak baru) terletak pada keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara. Meski demikian, untuk kontrak-kontrak lama dan yang masih berjalan harus dihormati.

Tetapi jika kontak lama tersebut nyata-nyata merugikan negara, SBY menegaskan agar dilakukan negosiasi ulang yang menguntungkan bagi negara. Kontrak- kontrak lama (jangka panjang) yang kini masih berlaku adalah bagian dari track record rezim-rezim sebelumnya. Itulah yang dikatakan oleh SBY sebagai cuci piring dari pemerintahan masa lalu.

Akhirnya kita berharap agar para politisi,siapapunmereka,tidakmudah menerjemahkan makna nasionalisme untuk kepentingan masing-masing kelompok. Pasalnya, hal tersebut bukan hanya membiaskan makna nasionalisme. Lebih dari itu,merusak semangat kebangsaan yang kini tengah bersemi kembali. Selamat memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional! (*)

Zaenal A Budiyono
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta
ahasa Inggris ”nation”).Dalam perkembangan sejarah, nasionalisme lalu dibenturkan dengan internasionalisme dan globalisasi.

Benturan dengan internasionalisme terjadi pada era 1940 hingga 1960-an, ketika komunisme internasional tengah kuatkuatnya. Bagi negara-negara komunis (di bawah kendali Uni Soviet),paham nasionalisme justru menjadi penghambat terciptanya masyarakat komunis dunia. Internazionale tak melihat begitu penting batas-batas negara.

Pada awal 1990-an, nasionalisme boleh dikatakan ”memenangi”pertarungan melawan internasionali sme, setelah Uni Soviet bubar.Namun bukan berarti nasionalisme dapat berlama- lama menggelar pesta kemenangan. Musuh baru yang lebih kuat telah menanti, yaitu globalisasi, yang didefinisikan sebagai suatu kondisi yang merujuk terjadinya peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia.

Ketergantungan dimaksud dalam hal perdagangan,investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.Meski demikian,setelah berjalan hampir dua dasawarsa, toh nasionalisme tak juga tergerus ombak besar globalisasi.Pada 2008 ini atau seabad lahirnya nasionalisme Indonesia modern (Budi Oetomo) orang masih memperbincangkan dan mengibarkan semangat nasionalisme.

Salahkah itu? Tentu saja tidak karena mencintai bangsa adalah sebuah keniscayaan. Hanya, kita lagi-lagi terbelah dalam pemaknaan nasionalisme di era kini.Ada pihak yang mengibarkan bendera nasionalisme dengan tafsir kaku,sementara yang lain mengusung nama nasionalisme dengan semangat baru.Walau demikian, tujuan kedua pihak tetap sama, yaitu agar kemiskinan dapat dikurangi dan kesejahteraan rakyat ditingkatkan.

Beda Gaya Amien-SBY

Jika boleh mengelompokkan, nasionalisme kontemporer Indonesia saat ini setidaknya diwakili oleh gerakan nasionalisme ala Amien Rais (AR) dan nasionalisme ala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).Pengelompokan ini tentu subjektif penulis. Tetapi pada intinya ingin menunjukkan perbedaan-perbedaan antarkeduanya.

Nasionalisme AR cenderung menggelora dan antiasing.Beberapa kali AR menerjemahkan nasionalisme dalam bentuk tersebut. Sebagaimana ditulis Tigun Wibisono pada Februari 2003,saat masih menjabat Ketua MPR,Amien mengatakan hal itu di hadapan para mahasiswa Indonesia di New York.

”Kalau republik ini sudah bubar,bolehlah. Yang dianggap melanggar HAM dibawa ke International Tribunal.Tapi selama republik ini berdiri kokoh,tidak ada satu pun warga negara Indonesia yang dibawa atas dasar apa pun ke mahkamah internasional!” Pernyataan AR tersebut adalah respons atas rekomendasi Pengadilan Timor Leste yang menuntut agar pimpinan TNI dibawa ke mahkamah internasional.

Tentu saja kita agak heran dengan pernyataan seperti itu.Pasalnya, jika kita mau jujur,Orde Baru juga melakukan pelanggaran atas Timor Timur di masa lalu. Isu yang sama, tapi berbeda cara pendekatannya, dilakukan Presiden SBY untuk memecahkan kebuntuan diplomasi RI-Timor Leste.SBY bukan tipe pemimpin yang bicara berapi-api. Sebaliknya, dia cenderung memilih liku-liku jalan diplomasi.

Jika pemerintahan Mega dan Gus Dur tak membuat banyak terobosan terkait peningkatan hubungan RI-Timor Leste, maka SBY berhasil melakukannya melalui Comission of Truth and Friendship (CTF). Dengan komisi ini, pelanggaran kedua belah pihak di masa konflik cukup diselesaikan di kedua negara, tidak perlu membawa ke Den Haag (Mahkamah Internasional).Artinya tujuan itu sama dengan kutipan pernyataan AR yang cukup menggelora di atas.

Begitu pun dalam penanganan konflik Aceh.Harus diakui bahwa di masa Pemerintahan SBY inilah damai Aceh benar-benar terwujud.SBY memilih liku-liku diplomasi untuk menyelesaikan gerakan separatisme Gerakan Aceh Merdeka (GAM).Termasuk memberikan ”konsesi” kepada para mantan tentara GAM.AR justru mencurigai kesepakatan damai antara pemerintah dan GAM.

Ia menilai memorandum of understanding (MoU) pemerintah dan GAM sebagai sesuatu yang kebablasan (tempointeraktif. com,25 Agustus 2005).Setelah 30 tahun memberontak, mengapa pada 2005 GAM benar-benar menghentikan kegiatannya? Tak lain adalah adanya rasa saling percaya antara kedua belah pihak.Ini sangat penting dalam penanganan konflik separatisme di berbagai belahan dunia.Yang pasti, tujuan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kembalinya GAM ke tengah-tengah masyarakat telah tercapai.

Nasionalisme Ekonomi

Pada isu nasionalisme ekonomi, SBY dan AR kerap dipersepsikan berada pada posisi yang seolah-olah bersebarangan. Seperti yang kita lihat pada isu ExxonMobil di Blok Cepu dua tahun lalu.Penunjukan ExxonMobil sebagai operator kilang minyak di Blok Cepu dituduh sebagai perendahan harga diri bangsa.AR bahkan menuduh pemerintah telah merampok uang negara triliunan dolar untuk kepentingan perusahaan Amerika.

Bagi masyarakat awam, tuduhan-tuduhan tersebut tentu bisa membangkitkan heroisme dan semangat perlawanan yang berbahaya dan menyimpang. Atas nama nasionalisme, masyarakat bisa dimobilisasi dan diprovokasi. Isu nasionalisme dengan mengangkat kasus ExxonMobil telah menyempitkan arti nasionalisme dan mengidentikkannya dengan antinegara lain.

Padahal, persoalan yang diperdebatkan dalam kasus ExxonMobil sebenarnya lebih bersifat teknis,bukan persoalan harga diri bangsa apalagi ditarik pada persoalan nasionalisme. Karena, sesuai Undang-Undang No 8/1971, negara memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investor untuk ”membantu”Pertamina mengeksplorasi minyak. Undang-undang ini lahir karena kemampuan negara baik dalam hal dana maupun sumber daya manusia sangat terbatas.

Bahkan pada masa pemerintahan Megawati UU tersebut diganti dengan Undang- Undang Migas No 22/2001 yang sebenarnya semakin mengecilkan peran Pertamina dalam monopoli eksplorasi minyak dan gas bumi. Bahkan melalui UU tersebut Pertamina dijadikan sebuah perseroan yang perannya semakin ”terbatas”.

Kalau penunjukan ExxonMobil dianggap sebagai pemerkosaan terhadap nasionalisme, maka UU yang lahir pada masa pemerintahan Megawati tersebut bisa dianggap sebagai biang antinasionalisme (A Bakir Ihsan,2006). Garis kebijakan SBY terkait investasi asing (kontak baru) terletak pada keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara. Meski demikian, untuk kontrak-kontrak lama dan yang masih berjalan harus dihormati.

Tetapi jika kontak lama tersebut nyata-nyata merugikan negara, SBY menegaskan agar dilakukan negosiasi ulang yang menguntungkan bagi negara. Kontrak- kontrak lama (jangka panjang) yang kini masih berlaku adalah bagian dari track record rezim-rezim sebelumnya. Itulah yang dikatakan oleh SBY sebagai cuci piring dari pemerintahan masa lalu.

Akhirnya kita berharap agar para politisi,siapapunmereka,tidakmudah menerjemahkan makna nasionalisme untuk kepentingan masing-masing kelompok. Pasalnya, hal tersebut bukan hanya membiaskan makna nasionalisme. Lebih dari itu,merusak semangat kebangsaan yang kini tengah bersemi kembali. Selamat memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional! (*)


Zaenal A Budiyono
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar