Minggu, 11 April 2010

MAKALAH KEWARGANEGARAAN TENTANG SDM INDONESIA DALAM PERSAINGAN GLOBAL

MAKALAH KEWARGANEGARAAN
TENTANG
SDM INDONESIA DALAM PERSAINGAN GLOBAL

Oleh :
NAMA: YAYA KARTAYA
NIM : 2209013
JURUSAN : SISTEM INFORMASI
JENJANG : STRATA 1 (S1)


STMIK GANESHA
2010

Kata Pengantar
Alhamdulillahhirobil alamin, segala puji dan syukur, kita panjatkan atas karunia Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Karena berkat rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang mengembil tema “SDM INDONESIA DALAM PERSAINGAN GLOBAL”. Saya ucapkan terimakasih, pihak-pihak lain yang telah membantu menyelesaikan tugas ini secara langsung atau tidak langsung. Saya selaku penulis makalah menyadari masih banyak terdapat kesalahan dalam hal penulisan ataupun dalam hal ketatabahasaan. Oleh karena itu saya selaku penyusun makalah mengharapkan kritik dan saranya yang bersifat membangun, dan demi perbaikan tugas untuk yang akan datang. Terima kasih

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan struktur baru, yaitu struktur global. Struktur tersebut akan mengakibatkan semua bangsa di dunia termasuk Indonesia, mau tidak mau akan terlibat dalam suatu tatanan global yang seragam, pola hubungan dan pergaulan yang seragam khususnya dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Aspek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin pesat terutama teknologi komunikasi dan transportasi, menyebabkan issu-issu global tersebut menjadi semakin cepat menyebar dan menerpa pada berbagai tatanan, baik tatanan politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan. Dengan kata lain globalisasi yang ditunjang dengan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjadikan dunia menjadi transparan tanpa mengenal batas-batas negara. Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia terus berubah sejalan dengan perkembangan teknologi, dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan berlanjut ke masyarakat pasca industri yang serba teknologis. Pencapaian tujuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan cenderung akan semakin ditentukan oleh penguasaan teknologi dan informasi, walaupun kualitas sumber daya manusia (SDM) masih tetap yang utama.
Sumberdaya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam persaingan global, yakni bagaimana menciptakan SDM yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam persaingan global yang selama ini kita abaikan. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan intraregional dan internasional akan terjadi persaingan antarnegara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40).



BAB II
PEMBAHASAN
1. Sumber Daya Manusia Indonesia
Terkait dengan kondisi sumber daya manusia Indonesia yaitu adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM.
Rendahnya SDM Indonesia diakibatkan kurangnya penguasaan IPTEK, karena sikap mental dan penguasaan IPTEK yang dapat menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Oleh karena itu dimensi daya saing dalam SDM semakin menjadi faktor penting sehingga upaya memacu kualitas SDM melalui pendidikan merupakan tuntutan yang harus dikedepankan.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi.
2. Dampak IPTEK Terhadap SDM Indonesia
Pengaruh IPTEK terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam persaingan global dewasa ini meliputi berbagai aspek dan merubah segenap tatanan masyarakat. Aspek-aspek yang dipengaruhi, adalah sebagai berikut :
1. Dampak yang ditimbulkan oleh teknologi dalam era globalisasi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, sangat luas. Teknologi ini dapat menghilangkan batas geografis pada tingkat negara maupun dunia.
2. Aspek Ekonomi.
Dengan adanya IPTEK, maka SDM Indonesia akan semakin meningkat dengan pengetahuan-pengetahuan dari teknologi tersebut. Dengan kemajuan SDM ini, tentunya secara tidak langsung akan mempengaruhi peningkatan ekonomi di Indonesia. Berkaitan dengan pasar global dwasa ini, tidaklah mungkin jika suatu negara dengan tingkat SDM rendah dapat bersaing, untuk itulah penguasaan IPTEK sangat penting sekali untuk dikuasai.
Selain itu, tidak dipungkiri globalisasi telah menimbulkan pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakat di masa kini akibat pengaruh negatif dari globalisasi.
3. Aspek Sosial Budaya.
Globalisasi juga menyentuh pada hal-hal yang mendasar pada kehidupan manusia, antara lain adalah masalah Hak Asasi Manusia (HAM), melestarikan lingkungan hidup serta berbagai hal yang menjanjikan kemudahan hidup yang lebih nyaman, efisien dan security pribadi yang menjangkau masa depan, karena didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampak yang timbul diakibatkannya ikatan-ikatan tradisional yang kaku, atau dianggap tidak atau kurang logis dan membosankan. Akibat nyata yang timbul adalah timbulnya fenomena-fenomena paradoksal yang muaranya cenderung dapat menggeser paham kebangsaan/nasionalisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan meningkatnya tanggapan masyarakat atas kasus-kasus yang terjadi dinilai dengan didasarkan norma-norma kemanusiaan atau norma-norma sosial yang berlaku secara umum (Universal internasional).

BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas mengenai IPTEK dalam upaya peningkatan SDM Indonesia di era globalisasi ini, sudah jelas bahwa dengan adanya IPTEK sudah barang tentu menunjang sekali dalam kaitannya meningkatkan kualitas SDM kita. Dengan meningkatnya kualitas SDM, maka Indonesia akan lebih siap menghadapi era globalisasi dewasa ini.
Perlu sekali diperhatikan, bahwasannya dengan adanya IPTEK dalam era globalisasi ini, tidak dipungkiri juga akan menimbulkan dampak yang negatif dari berbagai aspek, baik aspek ekonomi, budaya maupun imformasi dan komunikasi, untuk itulah filtrasi sangat diperlukan sekali dalam penyerapan IPTEK, sehingga dampak negatif IPTEK dalam upaya peningkatan SDM dapat ditekan seminimal mungkin.

DAFTAR PUSTAKA
www.geogle/SDM Indonesia dalam persaingan global/.co.id

Nasionalisme Ditinjau dari Akarnya

ARTIKEL
Nasionalisme Ditinjau dari Akarnya
Kekhawatiran akan merosotnya nasionalisme dan terjadinya disintegrasi nasional merebak di mana-mana akhir-akhir ini. Hal ini, antara lain, juga tercermin dalam simposium berjudul “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Ilmu-ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Selasa, 8 Agustus 2006, di mana penulis juga menyajikan makalah.
Di tengah wacana mengenai nasionalisme yang pada umumnya dimulai dari tengah�yakni langsung membicarakannya sebagai fenomena masyarakat modern yang dikaitkan dengan fenomena negara�penulis coba mengangkat isu yang masih kurang dibicarakan orang, yakni membicarakannya dalam konteks kondisi-kondisi dasar yang di dalamnya dibangun bangsa (nation), kebangsaan (nasionalitas), dan rasa kebangsaan (nasionalisme) Indonesia. Kondisi dasar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suku bangsa.
Membicarakan suku bangsa sebagai kondisi dasar berarti menempatkan konsep-konsep bangsa, negara, dan nasionalisme secara posteriori. Dengan memahami suku bangsa sebagai kondisi dasar, diharapkan pemahaman kita tentang bangsa, kebangsaan, dan nasionalisme akan menjadi lebih sistematik dan jernih.
Corak kebangsaan dan nasionalisme sedikit banyak ditentukan oleh kondisi dasar tersebut, meskipun dalam perjalanan zaman niscaya ada distorsi-distorsi yang dapat mengubah sosok maupun muatan nasionalisme itu. Selanjutnya, dengan menempatkan negara dalam konteks ini, maka negara dipandang sebagai bagian dari wilayah analisis yang lebih luas, yakni sebagai external agent yang saling memengaruhi dengan kondisi-kondisi lokal.
Karena titik tolak pembicaraan ini adalah dari perspektif tradisional suku bangsa�suatu kesatuan sosial yang hidup di suatu teritorial tertentu, dan yang memiliki suatu kebudayaan�maka pergeseran konsep ini menjadi konsep kelompok etnik, sebagai konsekuensi dari proses menjadi kompleks masyarakat, menjadi penting dibicarakan.
Para ahli antropologi sependapat bahwa suku bangsa adalah landasan bagi terbentuknya bangsa. IM Lewis (1985: 358), misalnya, mengatakan bahwa “istilah bangsa (nation) adalah satuan kebudayaan� tidak perlu membedakan antara suku bangsa dan bangsa karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya� segmen suku bangsa adalah bagian dari segmen bangsa yang lebih besar, meski berbeda ukuran namun ciri-cirinya sama”.
Meski pernyataan ini menuai banyak kritik, khususnya terkait dengan isu “homogenitas” ini, jelas bahwa para antropolog sangat peduli bahwa suatu konsep sosial budaya harus memiliki dasar empirik dalam kenyataan, bukan konsep yang dibangun di awang- awang. Konsep bangsa tentulah memiliki akar empirik, yakni dari suku bangsa.
Rasa kebangsaan
Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling berkaitan satu sama lain. Rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, adalah dimensi sensoris�meminjam istilah Benedict Anderson (1991[1983]) Imagined Communities�merupakan konsep antropologi yang tidak semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik.
Dimensi sensoris yang tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi yang berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan kebangsaan, sebagaimana dibicarakan di atas. Inilah akar-akar bagi membicarakan rasa kebangsaan (nasionalisme) itu.
Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga disebut nasionalisme adalah topik baru dalam kajian antropologi. Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sejak lama adalah rubrik ilmu politik, sosiologi makro, dan sejarah.
Perhatian antropologi terhadap nasionalisme menempuh jalur yang berbeda dari disiplin-disiplin tersebut yang menempatkan negara sebagai titik awal pembahasan. Sejalan dengan tradisinya, antropologi menempatkan nasionalisme bersamaan dengan negara karena kesetiaan, komitmen, dan rasa memiliki negara tidak hanya bersifat instrumental�yakni keterikatan oleh prinsip politik�melainkan juga bersifat sensorik yang berisikan sentimen-sentimen, emosi-emosi, dan perasaan-perasaan.
Dalam dimensi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined” (meminjam istilah Benedict Anderson), yang berarti “orang- orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar. Namun, dalam pikiran mereka hidup suatu image mengenai kesatuan bersama. Itulah sebabnya ada warga negara yang mau mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan negara.
Nasionalisme baru
Tak seorang pun menyangkal bahwa bangsa Indonesia tersusun dari aneka ragam suku bangsa. Jelas bahwa tidak hanya suku bangsa yang beraneka ragam, melainkan juga ras, agama, dan golongan sosial-ekonomi.
Belum lagi fakta bahwa penduduk Indonesia yang jumlahnya kira-kira 250 juta itu hidup tersebar di kepulauan yang paling luas di dunia. Maka, keanekaragaman adalah kondisi dasar bangsa dan negara kita. Bilamana kita hendak membicarakan nasionalisme Indonesia, maka isu keanekaragaman itu patut menjadi landasan pertama pemahaman kita.
Nasionalisme kita adalah suatu konstruksi yang dibangun dan dipelihara posteriori. Sejarah perjuangan bangsa penuh heroik dalam mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah salah satu bagian konstruksi terpenting sehingga selama 60 tahun bagian ini menjadi perekat integrasi bangsa.
Sebagai suatu konstruksi posteriori, maka nasionalisme harus dijaga, dipelihara, dan dijamin mampu menghadapi perubahan zaman. Selain itu, nasion sebagai suatu yang “imagined” adalah entitas abstrak yang berisikan bayangan-bayangan, cita-cita, dan harapan-harapan bahwa nasion akan tumbuh makin kuat dan mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, dan kesejahteraan hidup. Selama 60 tahun imajinasi itu hidup dan terpelihara, rakyat terus menggantungkan harapan bahwa suatu waktu kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan itu akan terwujud.
Namun, pertanyaan besar adalah seberapa lama dan kuat harapan-harapan itu bertahan? Bagaimanapun, harapan-harapan itu ingin disaksikan dalam wujudnya yang nyata oleh warga bangsa kita.
Apabila nasion adalah suatu yang “imagined”, maka nasionalisme adalah suatu ideologi yang menyelimuti imajinasi itu. Sebagaimana halnya imajinasi itu sendiri, maka nasionalisme pun akan mengalami kemerosotan apabila distorsi yang disebabkan oleh faktor-faktor lain dalam negara-bangsa ini semakin meningkat.
Secara internal kita berhadapan dengan fenomena meningkatnya kemiskinan, korupsi, konflik-konflik kepentingan partai dan golongan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, jurang generasi, dan banyak lagi; secara eksternal kita menghadapi fenomena global, seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya ideologi, dan meningkatnya komunikasi lintas batas negara dan kebudayaan.
Tantangan internal dan eksternal tersebut niscaya memengaruhi kadar dan muatan nasionalisme kita. Nasionalisme kita hanya akan dapat dijaga dan dipelihara apabila kita secara mantap dan konsisten berupaya keras untuk meminimalisasi�kalau tak mungkin menghilangkan�fenomena internal di atas sehingga cukup kuat berkontestasi dengan bangsa-bangsa lain.
Barangkali ini adalah upaya yang jauh lebih keras dan berat dibandingkan bangsa-bangsa lain karena Indonesia adalah negeri majemuk terbesar di dunia. Sebagai bangsa majemuk terbesar, kita juga paling rentan perpecahan dan disintegrasi. Itulah sebabnya kita perlu memahami dan menyadari kondisi-kondisi dasar bangsa kita, antara lain, suku bangsa dan kesukubangsaan, sebelum kita berbicara tentang isu-isu lain, seperti nasionalisme sebagai prinsip politik.

Posted by lukman sriamin
August 14, 2006
Indonesia adalah Negeri Majemuk Terbesar di Dunia
Achmad Fedyani Saifuddin
Pengajar Departemen Antropologi UI, Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia

Nasionalisme Indonesia Yang Anti-Demokrasi

Artikel
Nasionalisme Indonesia Yang
Anti-Demokrasi


*Masalah Papua Dalam Pandangan Hatta*

Dalam sidang-sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia atau
BPUPKI yang berlangsung pada tanggal 10 - 11 Juli 1945 terdapat silang
pendapat antara tokoh-tokoh nasional Indonesia. Soekarno dan Moh. Yamin
berpendapat Papua adalah bagian integral Indonesia berdasarkan klaim sejarah
Majapahit dan Tidore, sehingga mutlak dimasukan sebagai bagian dari
Indonesia, sementara tokoh-tokoh politik seperti Moh. Hatta dan Sutan
Syahrir lebih menekankan sisi kemanusiaan dengan menggunakan nilai-nilai
demokrasi dalam penyelesaian masalah Papua.

Hatta berpendapat Papua merupakan sebuah entitas bangsa dengan kebudayaan
Melanesia yang dominan dan tidak seharusnya menjadikan Indonesia mengabaikan
begitu saja fakta sosiologis ini. Sebagai sebuah entitas bangsa, rakyat
Papua juga punya hak untuk menentukan masa depannya sendiri sama seperti
Indonesia.

Dalam perdebatan-perdebatan BPUPKI itu Hatta berkata: "Saya sendiri ingin
menyatakan bahwa Papua sama sekali tidak usah dipusingkan, bisa diserahkan
kepada Bangsa Papua sendiri. Saya mengakui bahwa Bangsa Papua juga berhak
menjadi bangsa yang merdeka, akan tetapi Bangsa Indonesia untuk sementara
waktu, yaitu dalam beberapa puluh tahun, belum sanggup, belum mempunyai
tenaga yang cukup untuk mendidik bangsa Papua, sehingga menjadi bangsa yang
merdeka."

Silang pendapat mengenai Papua antara Hatta disatu pihak dan Soekarno-Yamin
dipihak lain tidak terkompromi, sehingga dalam sidang BPUPKI dimunculkan
beberapa opsi mengenai wilayah kedaulatan Indonesia, beberapa opsi yang
ditawarkan untuk divoting adalah sebagai berikut; Pertama, yang disebut
Indonesia adalah bekas jajahan Hindia Belanda dahulu; Kedua, yang disebut
Indonesia adalah Hindia Belanda, Malaka (Malaysia), Borneo Utara (Brunei dan
Sabah), Papua, Timor-Portugis (sekarang Republik Demokratik Timor) dan
kepulauan sekitarnya; Ketiga, yang disebut Indonesia adalah Hindia Belanda
Dahulu ditambah Malaka tanpa memasukkan Papua.

Dari ketiga opsi tersebut, dihasilkan voting dari 66 anggota BPUPKI sebagai
berikut; 16 suara mendukung opsi nomor satu, 39 suara mendukung opsi nomor
dua, dan 6 suara mendukung opsi nomor 3, dengan demikian, sejak awal, tidak
saja Papua tetapi juga Timor - Portugis, yang sekarang sudah merdeka,
Malaysia dan Brunai Darussalam juga dimasukan dalam imajinasi teritorial
nasional yang hendak dibangun oleh nasionalis Indonesia.

Tidak hanya disitu, sikap Hatta yang tegas ditunjukkannya saat terjadinya
pertemuan antara pemimpin Indonesia Merdeka, yaitu Soekarno dan Hatta,
dengan pimpinan militer Jepang di Saigon, Vietnam, pada tanggal 12 Agustus
1945.

Dalam kesempatan ini, Mohammad Hatta masih memegang teguh prinsipnya
mengenai masa depan bangsa Papua. Hatta menyatakan:

*"...bangsa Papua merupakan ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah
bangsa Papua menentukan masa depannya sendiri!" *

Pandangan Hatta mengenai Papua didepan pimpinan militer Jepang di Saigon
waktu itu bertolak belakang dengan pandangan Soekarno yang mengatakan bahwa
bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan sama sekali
dengan usaha-usaha persiapan kemerdekaan yang sedang dilakukan tokoh-tokoh
nasional Indonesia.

Pada awal tahun 1960-an gagasan Soekarno untuk mengganyang Malaysia disambut
dengan mobilisasi militer Indonesia secara besar-besaran. Lahirlah gerakan
Dwikora yang membenarkan mobilisasi rakyat untuk kepentingan politik
Soekarno yang agresif itu. Hal sama terjadi dalam kasus Papua. Pada tanggal
19 Desember 1961 Soekarno menggelar rapat akbar di Alun-alun Utara
Yogyakarta yang melahirkan gerakan Trikora dalam rangka pendudukan Papua.
Dwikora tidak berhasil secara politik, tetapi gerakan Trikora yang
dilancarkan Soekarno pada akhirnya berhasil. Unjuk kekuatan milter dan
diplomasi politik dalam gerakan Trikora menjadi dua kunci sukses yang
berhasil dikombinasikan oleh Soekarno dalam rangka pendudukan dan penguasaan
Papua.

Barangkali dalam konteks ini Soekarno hendak menjabarkan dan mempraksiskan
hasil-hasil sidang BPUPKI pada tanggal 10 dan 11 Juli 1945, dimana dalam
sidang BPUPKI itu, mayoritas anggota menyetujui sebuah usulan mengenai blue
print imaginasi batas-batas teritori nasional Indonesia merdeka yang harus
meliputi daerah-daerah bekas jajahan Hindia Belanda termasuk Malaka
(sekarang Kerajaan Malaysia), Borneo Utara (sekarang Kesultanan Brunai
Darussalam), Papua, Timor Portugis (sekarang Republik Demokratik Timor) dan
pulau-palau sekitarnya.

Pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia berhasil menguasai Papua secara
de facto melalui proses integrasi yang terjadi pada tanggal 1 Mei 1963 dan
secara de jure dimasa pemerintahan Soeharto melalui proses Pepera 1969. Dua
peristiwa politik penting yang masih digugat oleh rakyat Papua sampai saat
ini. Lahirnya perlawanan rakyat Papua melalui Organisasi Papua Merdeka (OPM)
dalam menentang proses pendudukan Indonesia atas Papua adalah merupakan
refleksi kekecewaan politik atas berbagai ketidakadilan yang terjadi.

Barangkali, pada masa-masa dimana dua peristiwa politik penting yang
dikemudian hari telah merubah nasib dan keadaan politik sesungguhnya di
Papua itu, Hatta melihat dari jauh tanpa bisa berbuat lebih banyak seperti
yang pernah ia lakukan pada masa-masa awal persiapan kemerdekaan Indonesia.
Barangkali juga pada saat itu, Hatta dengan kesederhanaan jiwanya itu sedang
menerawang kegelisahan jiwa rakyat Papua yang gundah gulana akibat konflik
politik antara Indonesia dan Belanda yang pada akhirnya telah menjadikan
rakyat Papua sebagai korban dari kemunafikan dan arogansi kekuasaan yang
sewenang-wenang. Rakyat Papua tentu masih menanti orang seperti Hatta yang
mampu menyelami jiwa dan pikiran mereka, tidak saja dalam pemikiran dan
perkataan, tetapi juga dalam tindakan nyata.

Read More...




Summary only...
Posted by Diary Papua at Sunday, June 03,
2007
0
comments
[mediacare] Nasionalisme Indonesia Yang Anti Demokrasi! [Bagian Kedua-Selesai] Papuan D
!

Mon, 18 Jun 2007 08:20:37 -0700
*Sebuah Catatan Mengenai Mohammad Hatta dan Pandangannya Tentang Masa Depan
Papua!*

Nasionalisme SBY-Amien

Artikel

OPINI LEMBAGA - ARTIKEL
Nasionalisme SBY-Amien
Seputar Indonesia (23/05/2008)
Pada mulanya hanyalah sebuah kata, nasionalisme.Namun seiring perkembangan peradaban manusia, kata itu menyeruak, populer dan menjadi bahan perdebatan sepanjang sejarah.

Pasca-Perang Dunia I hingga kini, tak ada dunia yang steril dari pengaruh nasionalisme. Bangsa Indonesia memperoleh spirit luar biasa untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang, juga karena kesadaran nasionalisme. Orde Lama menjalin hubungan strategis dengan Blok Timur dan mengecam habis Blok Barat juga atas nama nasionalisme. Begitu pun saat Orde Baru berkuasa.



Aliran modal dari Barat ke Indonesia— oleh Presiden Soeharto—dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Bangkitnya ekonomi juga dilandasi semangat kecintaan kepada tanah air (nasionalisme). Artinya nasionalisme itu relatif. Tak pernah ada tafsir general yang diterima seluruh penduduk bumi.Nasionalisme tumbuh subur dan mekar bersama keunikan dan tantangan bangsa masing-masing.

Lalu apa sebenarnya nasionalisme itu? Secara bebas,nasionalisme dapat kita terjemahkan sebagai satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang disebut bangsa (dalam bOPINI LEMBAGA - ARTIKEL
Nasionalisme SBY-Amien
Seputar Indonesia (23/05/2008)
Pada mulanya hanyalah sebuah kata, nasionalisme.Namun seiring perkembangan peradaban manusia, kata itu menyeruak, populer dan menjadi bahan perdebatan sepanjang sejarah.

Pasca-Perang Dunia I hingga kini, tak ada dunia yang steril dari pengaruh nasionalisme. Bangsa Indonesia memperoleh spirit luar biasa untuk mengusir penjajah Belanda dan Jepang, juga karena kesadaran nasionalisme. Orde Lama menjalin hubungan strategis dengan Blok Timur dan mengecam habis Blok Barat juga atas nama nasionalisme. Begitu pun saat Orde Baru berkuasa.



Aliran modal dari Barat ke Indonesia— oleh Presiden Soeharto—dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi bangsa. Bangkitnya ekonomi juga dilandasi semangat kecintaan kepada tanah air (nasionalisme). Artinya nasionalisme itu relatif. Tak pernah ada tafsir general yang diterima seluruh penduduk bumi.Nasionalisme tumbuh subur dan mekar bersama keunikan dan tantangan bangsa masing-masing.

Lalu apa sebenarnya nasionalisme itu? Secara bebas,nasionalisme dapat kita terjemahkan sebagai satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang disebut bangsa (dalam bahasa Inggris ”nation”).Dalam perkembangan sejarah, nasionalisme lalu dibenturkan dengan internasionalisme dan globalisasi.

Benturan dengan internasionalisme terjadi pada era 1940 hingga 1960-an, ketika komunisme internasional tengah kuatkuatnya. Bagi negara-negara komunis (di bawah kendali Uni Soviet),paham nasionalisme justru menjadi penghambat terciptanya masyarakat komunis dunia. Internazionale tak melihat begitu penting batas-batas negara.

Pada awal 1990-an, nasionalisme boleh dikatakan ”memenangi”pertarungan melawan internasionali sme, setelah Uni Soviet bubar.Namun bukan berarti nasionalisme dapat berlama- lama menggelar pesta kemenangan. Musuh baru yang lebih kuat telah menanti, yaitu globalisasi, yang didefinisikan sebagai suatu kondisi yang merujuk terjadinya peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia.

Ketergantungan dimaksud dalam hal perdagangan,investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.Meski demikian,setelah berjalan hampir dua dasawarsa, toh nasionalisme tak juga tergerus ombak besar globalisasi.Pada 2008 ini atau seabad lahirnya nasionalisme Indonesia modern (Budi Oetomo) orang masih memperbincangkan dan mengibarkan semangat nasionalisme.

Salahkah itu? Tentu saja tidak karena mencintai bangsa adalah sebuah keniscayaan. Hanya, kita lagi-lagi terbelah dalam pemaknaan nasionalisme di era kini.Ada pihak yang mengibarkan bendera nasionalisme dengan tafsir kaku,sementara yang lain mengusung nama nasionalisme dengan semangat baru.Walau demikian, tujuan kedua pihak tetap sama, yaitu agar kemiskinan dapat dikurangi dan kesejahteraan rakyat ditingkatkan.

Beda Gaya Amien-SBY

Jika boleh mengelompokkan, nasionalisme kontemporer Indonesia saat ini setidaknya diwakili oleh gerakan nasionalisme ala Amien Rais (AR) dan nasionalisme ala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).Pengelompokan ini tentu subjektif penulis. Tetapi pada intinya ingin menunjukkan perbedaan-perbedaan antarkeduanya.

Nasionalisme AR cenderung menggelora dan antiasing.Beberapa kali AR menerjemahkan nasionalisme dalam bentuk tersebut. Sebagaimana ditulis Tigun Wibisono pada Februari 2003,saat masih menjabat Ketua MPR,Amien mengatakan hal itu di hadapan para mahasiswa Indonesia di New York.

”Kalau republik ini sudah bubar,bolehlah. Yang dianggap melanggar HAM dibawa ke International Tribunal.Tapi selama republik ini berdiri kokoh,tidak ada satu pun warga negara Indonesia yang dibawa atas dasar apa pun ke mahkamah internasional!” Pernyataan AR tersebut adalah respons atas rekomendasi Pengadilan Timor Leste yang menuntut agar pimpinan TNI dibawa ke mahkamah internasional.

Tentu saja kita agak heran dengan pernyataan seperti itu.Pasalnya, jika kita mau jujur,Orde Baru juga melakukan pelanggaran atas Timor Timur di masa lalu. Isu yang sama, tapi berbeda cara pendekatannya, dilakukan Presiden SBY untuk memecahkan kebuntuan diplomasi RI-Timor Leste.SBY bukan tipe pemimpin yang bicara berapi-api. Sebaliknya, dia cenderung memilih liku-liku jalan diplomasi.

Jika pemerintahan Mega dan Gus Dur tak membuat banyak terobosan terkait peningkatan hubungan RI-Timor Leste, maka SBY berhasil melakukannya melalui Comission of Truth and Friendship (CTF). Dengan komisi ini, pelanggaran kedua belah pihak di masa konflik cukup diselesaikan di kedua negara, tidak perlu membawa ke Den Haag (Mahkamah Internasional).Artinya tujuan itu sama dengan kutipan pernyataan AR yang cukup menggelora di atas.

Begitu pun dalam penanganan konflik Aceh.Harus diakui bahwa di masa Pemerintahan SBY inilah damai Aceh benar-benar terwujud.SBY memilih liku-liku diplomasi untuk menyelesaikan gerakan separatisme Gerakan Aceh Merdeka (GAM).Termasuk memberikan ”konsesi” kepada para mantan tentara GAM.AR justru mencurigai kesepakatan damai antara pemerintah dan GAM.

Ia menilai memorandum of understanding (MoU) pemerintah dan GAM sebagai sesuatu yang kebablasan (tempointeraktif. com,25 Agustus 2005).Setelah 30 tahun memberontak, mengapa pada 2005 GAM benar-benar menghentikan kegiatannya? Tak lain adalah adanya rasa saling percaya antara kedua belah pihak.Ini sangat penting dalam penanganan konflik separatisme di berbagai belahan dunia.Yang pasti, tujuan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kembalinya GAM ke tengah-tengah masyarakat telah tercapai.

Nasionalisme Ekonomi

Pada isu nasionalisme ekonomi, SBY dan AR kerap dipersepsikan berada pada posisi yang seolah-olah bersebarangan. Seperti yang kita lihat pada isu ExxonMobil di Blok Cepu dua tahun lalu.Penunjukan ExxonMobil sebagai operator kilang minyak di Blok Cepu dituduh sebagai perendahan harga diri bangsa.AR bahkan menuduh pemerintah telah merampok uang negara triliunan dolar untuk kepentingan perusahaan Amerika.

Bagi masyarakat awam, tuduhan-tuduhan tersebut tentu bisa membangkitkan heroisme dan semangat perlawanan yang berbahaya dan menyimpang. Atas nama nasionalisme, masyarakat bisa dimobilisasi dan diprovokasi. Isu nasionalisme dengan mengangkat kasus ExxonMobil telah menyempitkan arti nasionalisme dan mengidentikkannya dengan antinegara lain.

Padahal, persoalan yang diperdebatkan dalam kasus ExxonMobil sebenarnya lebih bersifat teknis,bukan persoalan harga diri bangsa apalagi ditarik pada persoalan nasionalisme. Karena, sesuai Undang-Undang No 8/1971, negara memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investor untuk ”membantu”Pertamina mengeksplorasi minyak. Undang-undang ini lahir karena kemampuan negara baik dalam hal dana maupun sumber daya manusia sangat terbatas.

Bahkan pada masa pemerintahan Megawati UU tersebut diganti dengan Undang- Undang Migas No 22/2001 yang sebenarnya semakin mengecilkan peran Pertamina dalam monopoli eksplorasi minyak dan gas bumi. Bahkan melalui UU tersebut Pertamina dijadikan sebuah perseroan yang perannya semakin ”terbatas”.

Kalau penunjukan ExxonMobil dianggap sebagai pemerkosaan terhadap nasionalisme, maka UU yang lahir pada masa pemerintahan Megawati tersebut bisa dianggap sebagai biang antinasionalisme (A Bakir Ihsan,2006). Garis kebijakan SBY terkait investasi asing (kontak baru) terletak pada keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara. Meski demikian, untuk kontrak-kontrak lama dan yang masih berjalan harus dihormati.

Tetapi jika kontak lama tersebut nyata-nyata merugikan negara, SBY menegaskan agar dilakukan negosiasi ulang yang menguntungkan bagi negara. Kontrak- kontrak lama (jangka panjang) yang kini masih berlaku adalah bagian dari track record rezim-rezim sebelumnya. Itulah yang dikatakan oleh SBY sebagai cuci piring dari pemerintahan masa lalu.

Akhirnya kita berharap agar para politisi,siapapunmereka,tidakmudah menerjemahkan makna nasionalisme untuk kepentingan masing-masing kelompok. Pasalnya, hal tersebut bukan hanya membiaskan makna nasionalisme. Lebih dari itu,merusak semangat kebangsaan yang kini tengah bersemi kembali. Selamat memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional! (*)

Zaenal A Budiyono
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta
ahasa Inggris ”nation”).Dalam perkembangan sejarah, nasionalisme lalu dibenturkan dengan internasionalisme dan globalisasi.

Benturan dengan internasionalisme terjadi pada era 1940 hingga 1960-an, ketika komunisme internasional tengah kuatkuatnya. Bagi negara-negara komunis (di bawah kendali Uni Soviet),paham nasionalisme justru menjadi penghambat terciptanya masyarakat komunis dunia. Internazionale tak melihat begitu penting batas-batas negara.

Pada awal 1990-an, nasionalisme boleh dikatakan ”memenangi”pertarungan melawan internasionali sme, setelah Uni Soviet bubar.Namun bukan berarti nasionalisme dapat berlama- lama menggelar pesta kemenangan. Musuh baru yang lebih kuat telah menanti, yaitu globalisasi, yang didefinisikan sebagai suatu kondisi yang merujuk terjadinya peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia.

Ketergantungan dimaksud dalam hal perdagangan,investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.Meski demikian,setelah berjalan hampir dua dasawarsa, toh nasionalisme tak juga tergerus ombak besar globalisasi.Pada 2008 ini atau seabad lahirnya nasionalisme Indonesia modern (Budi Oetomo) orang masih memperbincangkan dan mengibarkan semangat nasionalisme.

Salahkah itu? Tentu saja tidak karena mencintai bangsa adalah sebuah keniscayaan. Hanya, kita lagi-lagi terbelah dalam pemaknaan nasionalisme di era kini.Ada pihak yang mengibarkan bendera nasionalisme dengan tafsir kaku,sementara yang lain mengusung nama nasionalisme dengan semangat baru.Walau demikian, tujuan kedua pihak tetap sama, yaitu agar kemiskinan dapat dikurangi dan kesejahteraan rakyat ditingkatkan.

Beda Gaya Amien-SBY

Jika boleh mengelompokkan, nasionalisme kontemporer Indonesia saat ini setidaknya diwakili oleh gerakan nasionalisme ala Amien Rais (AR) dan nasionalisme ala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).Pengelompokan ini tentu subjektif penulis. Tetapi pada intinya ingin menunjukkan perbedaan-perbedaan antarkeduanya.

Nasionalisme AR cenderung menggelora dan antiasing.Beberapa kali AR menerjemahkan nasionalisme dalam bentuk tersebut. Sebagaimana ditulis Tigun Wibisono pada Februari 2003,saat masih menjabat Ketua MPR,Amien mengatakan hal itu di hadapan para mahasiswa Indonesia di New York.

”Kalau republik ini sudah bubar,bolehlah. Yang dianggap melanggar HAM dibawa ke International Tribunal.Tapi selama republik ini berdiri kokoh,tidak ada satu pun warga negara Indonesia yang dibawa atas dasar apa pun ke mahkamah internasional!” Pernyataan AR tersebut adalah respons atas rekomendasi Pengadilan Timor Leste yang menuntut agar pimpinan TNI dibawa ke mahkamah internasional.

Tentu saja kita agak heran dengan pernyataan seperti itu.Pasalnya, jika kita mau jujur,Orde Baru juga melakukan pelanggaran atas Timor Timur di masa lalu. Isu yang sama, tapi berbeda cara pendekatannya, dilakukan Presiden SBY untuk memecahkan kebuntuan diplomasi RI-Timor Leste.SBY bukan tipe pemimpin yang bicara berapi-api. Sebaliknya, dia cenderung memilih liku-liku jalan diplomasi.

Jika pemerintahan Mega dan Gus Dur tak membuat banyak terobosan terkait peningkatan hubungan RI-Timor Leste, maka SBY berhasil melakukannya melalui Comission of Truth and Friendship (CTF). Dengan komisi ini, pelanggaran kedua belah pihak di masa konflik cukup diselesaikan di kedua negara, tidak perlu membawa ke Den Haag (Mahkamah Internasional).Artinya tujuan itu sama dengan kutipan pernyataan AR yang cukup menggelora di atas.

Begitu pun dalam penanganan konflik Aceh.Harus diakui bahwa di masa Pemerintahan SBY inilah damai Aceh benar-benar terwujud.SBY memilih liku-liku diplomasi untuk menyelesaikan gerakan separatisme Gerakan Aceh Merdeka (GAM).Termasuk memberikan ”konsesi” kepada para mantan tentara GAM.AR justru mencurigai kesepakatan damai antara pemerintah dan GAM.

Ia menilai memorandum of understanding (MoU) pemerintah dan GAM sebagai sesuatu yang kebablasan (tempointeraktif. com,25 Agustus 2005).Setelah 30 tahun memberontak, mengapa pada 2005 GAM benar-benar menghentikan kegiatannya? Tak lain adalah adanya rasa saling percaya antara kedua belah pihak.Ini sangat penting dalam penanganan konflik separatisme di berbagai belahan dunia.Yang pasti, tujuan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kembalinya GAM ke tengah-tengah masyarakat telah tercapai.

Nasionalisme Ekonomi

Pada isu nasionalisme ekonomi, SBY dan AR kerap dipersepsikan berada pada posisi yang seolah-olah bersebarangan. Seperti yang kita lihat pada isu ExxonMobil di Blok Cepu dua tahun lalu.Penunjukan ExxonMobil sebagai operator kilang minyak di Blok Cepu dituduh sebagai perendahan harga diri bangsa.AR bahkan menuduh pemerintah telah merampok uang negara triliunan dolar untuk kepentingan perusahaan Amerika.

Bagi masyarakat awam, tuduhan-tuduhan tersebut tentu bisa membangkitkan heroisme dan semangat perlawanan yang berbahaya dan menyimpang. Atas nama nasionalisme, masyarakat bisa dimobilisasi dan diprovokasi. Isu nasionalisme dengan mengangkat kasus ExxonMobil telah menyempitkan arti nasionalisme dan mengidentikkannya dengan antinegara lain.

Padahal, persoalan yang diperdebatkan dalam kasus ExxonMobil sebenarnya lebih bersifat teknis,bukan persoalan harga diri bangsa apalagi ditarik pada persoalan nasionalisme. Karena, sesuai Undang-Undang No 8/1971, negara memberi kesempatan seluas-luasnya bagi investor untuk ”membantu”Pertamina mengeksplorasi minyak. Undang-undang ini lahir karena kemampuan negara baik dalam hal dana maupun sumber daya manusia sangat terbatas.

Bahkan pada masa pemerintahan Megawati UU tersebut diganti dengan Undang- Undang Migas No 22/2001 yang sebenarnya semakin mengecilkan peran Pertamina dalam monopoli eksplorasi minyak dan gas bumi. Bahkan melalui UU tersebut Pertamina dijadikan sebuah perseroan yang perannya semakin ”terbatas”.

Kalau penunjukan ExxonMobil dianggap sebagai pemerkosaan terhadap nasionalisme, maka UU yang lahir pada masa pemerintahan Megawati tersebut bisa dianggap sebagai biang antinasionalisme (A Bakir Ihsan,2006). Garis kebijakan SBY terkait investasi asing (kontak baru) terletak pada keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara. Meski demikian, untuk kontrak-kontrak lama dan yang masih berjalan harus dihormati.

Tetapi jika kontak lama tersebut nyata-nyata merugikan negara, SBY menegaskan agar dilakukan negosiasi ulang yang menguntungkan bagi negara. Kontrak- kontrak lama (jangka panjang) yang kini masih berlaku adalah bagian dari track record rezim-rezim sebelumnya. Itulah yang dikatakan oleh SBY sebagai cuci piring dari pemerintahan masa lalu.

Akhirnya kita berharap agar para politisi,siapapunmereka,tidakmudah menerjemahkan makna nasionalisme untuk kepentingan masing-masing kelompok. Pasalnya, hal tersebut bukan hanya membiaskan makna nasionalisme. Lebih dari itu,merusak semangat kebangsaan yang kini tengah bersemi kembali. Selamat memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional! (*)


Zaenal A Budiyono
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta

Nasionalisme dan Politik Islam

ARTIKEL
Nasionalisme dan Politik Islam

Beberapa waktu lalu penulis artikel ini ditanya orang. Apakah yang akan terjadi dengan gerakan- gerakan politik Islam di negeri kita? Penulis artikel ini menyebutkan apa yang dinyatakan Soetrisno Bachir dari Partai Amanat Nasional (PAN) tentang hal ini.
Dia menyebutkan bahwa berdasarkan hasil-hasil survei belakangan, organisasi sektarian akan semakin kurang diminati orang dalam pemilu yang akan datang. Karena itu, PAN sudah menentukan akan mengambil dasar-dasar nonsektarian dalam kiprahnya. Ini adalah kenyataan lapangan yang tidak dapat dibantah. Hal tersebut memperkuat kesimpulan penulis artikel ini bahwa memang mayoritas para pemilih dalam pemilu di negeri kita tidak mau bersikap sektarian.
Penulis artikel ini sendiri sudah tidak mengakui klaim bahwa mayoritas penduduk berpikir sektarian. Nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sendiri menunjukkan hal itu. Bagaimana penulis sampai pada kesimpulan tersebut? Karena penulis setia melihat kenyataan, yaitu bahwa Nahdlatul Ulama (NU) memang tidak lagi “menawarkan diri” kepada publik sebagai organisasi sektarian. Walaupun sejak semula ia menggunakan bahasa Arab, NU senantiasa merujuk kepada hal-hal nonsektarian. Contohnya pada 1918 ia menamakan diri “Nahdlatu al-Tujjar (kebangkitan kaum pedagang)”, sama sekali tidak digunakan kata Islam.
Begitu juga pada 1922, ketika para ulama itu mendirikan sebuah kelompok diskusi di Surabaya dengan nama Tasywir al- Afkar (konseptualisasi pemikiran). Tahun 1924, didirikanlah madrasah Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Pada 1957, NU mengadakan musyawarah nasional alim ulama di Medan yang menghasilkan rumusan tentang presiden Republik Indonesia. Dalam rumusan tersebut, pemegang jabatan dipandang sebagai waliyyul amri dharuri bi al-syaukah (pemegang pemerintahan darurat dengan wewenang efektif).
Presiden dikatakan waliyyul amri karena ia memang memegang pemerintahan, yakni di zaman Presiden Soekarno (dan sampai sekarang pun masih demikian). Dikatakan dharuri (untuk sementara) karena secara teoretis kedudukannya tidak memenuhi persyaratan sebagai imam/ pemimpin umat Islam. Bi al-Syaukah karena memang pemerintahannya bersifat efektif. Dengan demikian, tiap-tiap kali akan diadakan pemilihan presiden, para ulama harus menetapkan apakah sang calon memenuhi ukuran-ukuran bagi imam sesuai hukum agama Islam.
Pada 1978, Rais Aam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) KH M Bisri Syansuri mengirimkan delegasi ke rumah mendiang Soeharto di Jalan Cendana dengan tugas menanyakan tujuh buah hal. Jika Pak Harto menjawab dengan empat buah hal saja yang benar, ia sudah layak dicalonkan PPP sebagai presiden.Tetapi KH M Masykur, HM Mintareja,dan KH Rusli Chalil (Perti) ternyata tidak menanyakan hal itu, melainkan bertanya bersedia atau tidak Pak Harto menjadi calon presiden dari PPP?
Sementara Harsono Tjokroaminoto tidak turut delegasi tersebut karena sudah “melarikan diri”dari tempat rapat, rumah KH Syaifuddin Zuhri di Jalan Dharmawangsa. Ketika penulis tanyakan kepada beliau bagaimana KH M Bisri Syansuri sebagai Rais Am PPP memandang hal ini, dijawab: beliau adalah salah seorang ulama yang sudah menetapkan policy berdasarkan aturan fikih. Dipakai atau tidak adalah tanggung jawab para politisi. Mereka yang akan ditanya Allah SWT di akhirat nanti.
Di sini tampaklah ketentuan yang dipegangi beliau bahwa ada beda antara orang yang menggunakan fikih dan menggunakan pertimbangan-pertimbangan akal belaka. Hal inilah yang membuat PPP menjadi partai yang sesuai bagi NU di masa itu. Namun, sekarang hal itu sudah tidak berlaku lagi karena PPP sudah digantikan oleh PKB. Kalau hal ini tidak disadari orang, akan terciptalah klaim yang tidak berdasarkan fakta nyata.
Akan tetapi perjuangan menegakkan demokrasi, termasuk memberlakukan ketentuan-ketentuan fikih dan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan PKB, juga bukan tugas yang ringan. Dewasa ini Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) tengah mengadakan penertiban di segala bidang untuk menghadapi pemilihan umum dua tahun lagi. Dalam penertiban tersebut ada empat puluh kepengurusan PKB di tingkat provinsi dan kabupaten dibekukan dengan menunjuk caretaker (kepengurusan sementara).
Setelah itu akan dilakukan musyawarah-musyawarah dewan pengurus wilayah (DPW) pada tingkat provinsi dan dewan pengurus cabang (DPC) pada tingkat kabupaten/kota. Sikap ini diambil untuk menghasilkan sebuah proses yang bersih menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai dalam rangka pelaksanaan demokratisasi di negeri kita. Kalau ini tercapai, berarti PKB akan merintis jalan baru bagi bangsa dan negara. Sudah tentu kerangka yang dibuat itu tidak akan mencapai hasil apa-apa jika tidak disertai orientasi dan arah pembangunan bangsa dan negara yang benar.
Selama ini, pembangunan nasional kita hanya bersifat elitis, yaitu mementingkan golongan kaya dan pimpinan masyarakat saja. Sejak 17 Agustus 1945, pembangunan nasional kita sudah berwatak elitis. Apalagi sekarang, ketika kita dipimpin orang yang takut pada perubahan-perubahan. Tentu sudah waktunya kita sekarang mementingkan kebutuhan rakyat dalam orientasi pembangunan nasional kita. Kebutuhan dasar kita sebagai bangsa dan negara menghendaki kita mampu memanfaatkan segenap kekayaan alam sendiri beserta keterampilan berteknologi untuk kepentingan bangsa dan negara.
Untuk ini kita harus sanggup membagi dua pembangunan kita; di satu pihak perdagangan bebas (termasuk globalisasi) yang berdasarkan persaingan terbuka. Di pihak lain kita memerlukan usaha publik untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang ditetapkan oleh Pasal 33 UUD 1945.Tugas yang sangat berat,bukan?(*)



Rabu, 20 Februari 2008 03:43
Oleh Abdurrahman Wahid
Jakarta, 17 Pebruari 2008

NASIONALISME DAN HAM

ARTIKEL

NASIONALISME DAN HAM


TUJUH puluh enam tahun silam, tepatnya 28 Oktober 1928, bangsa Indonesia
yang dimotori kaum muda telah membuat sejarah besar. Kongres Pemuda yang
berlangsung saat itu berhasil merumuskan Sumpah Pemuda yang terdiri dari
tiga poin: pengakuan akan satu tumpah darah, tumpah darah Indonesia, satu
bangsa, bangsa Indonesia, dan satu bahasa, bahasa Indonesia. Gagasan ini
melahirkan sebuah konsep bangsa Indonesia yang tidak mengacu pada etnis,
meliputi semua penduduk yang mendiami wilayah tertentu dan menggunakan satu
bahasa kesatuan Indonesia. Konsep ini semakin efektif ketika Indonesia Muda
sebagai fusi organisasi pemuda tidak memperkenankan lagi nama-nama
organisasi seperti Jong Java, Jong Celebes, Pemuda Sumatera, dll.
Selanjutnya, melalui perjuangan panjang cita-cita membangun negara-bangsa
Indonesia akhirnya tercapai dengan kemerdekaan tahun 1945. Kemerdekaan ini
dapat dikatakan sebagai puncak keberhasilan nasionalisme sebagai suatu
nilai. Namun, bila dikaitkan dengan situasi saat ini, banyak orang berpikir
apakah nasionalisme masih relevan untuk menyelesaikan konflik di Aceh,
Ambon, dan Papua. Demi mempertahankan NKRI, pemerintah seolah tak ada
pilihan lain selain mengedepankan pendekatan keamanan, sebagai akibatnya
timbullah permasalahan, apakah atas nama persatuan prinsip HAM harus
diabaikan? Apakah nasionalisme harus didahulukan dari HAM? Ataukah kedua
nilai tersebut dapat berjalan beriringan?
Untuk menjelaskan hubungan nasionalisme dan HAM tersebut maka di sini
diajukan pemikiran Jurgen Habermas (The European Nation-State. Its
Achievements and Its Limits) yang mengupas konsep Kewarganegaraan
(citizenship) dalam negara-bangsa.
Negara-bangsa modern mengandung dua nilai yaitu nilai republiken dan
nasionalisme. Keduanya menyatu membentuk konsep kewarganegaraan, sebagai
akibatnya bangsa dalam arti modern juga memiliki dua arti: pertama, bangsa
prapolitik yang dimengerti sebagai komunitas yang memiliki kesamaan sejarah,
budaya, bahasa, dan mendiami wilayah tertentu. Kedua, bangsa dalam arti
politik yaitu komunitas yang dibentuk oleh warga negara yang memiliki
kedaulatan politik dan secara aktif membangun tatanan politik.
Kewarganegaraan merupakan kata kunci karena di dalamnya mengandung arti
aktivasi politik rakyat yang menjadi landasan terbentuknya suatu identitas
nasional baru. Melalui kedaulatan rakyat, negara mendapat sumber legitimasi
dan melakukan integrasi sosial. Dalam konteks ini pula nasionalisme dapat
dipahami sebagai suatu nilai yang menstimulasi partisipasi politik rakyat ke
arah kesadaran akan statusnya sebagai warga negara. Pengakuan akan
kedaulatan rakyat di sini mengisyaratkan adanya pengakuan adanya hak-hak
sipil sekaligus hak asasi manusia.
Suatu ketegangan bisa saja terjadi antara penerapan nilai republiken yang
menekankan aspek legal-egaliter dan bercorak universal dengan nilai
nasionalisme yang bertumpu pada pemahaman bangsa prapolitik. Namun,
permasalahan ini dapat diselesaikan dengan penerapan prinsip HAM yang
merupakan bagian dari nilai-nilai republiken. Dikatakan demikian karena
nilai ini lebih menekankan pemahaman bahwa bangsa terdiri dari warga negara
yang berdaulat dan bukan atas interpretasi etnosentris. HAM di sini juga
berlaku sebagai acuan untuk menghadapi nilai-nilai yang berorientasi
partikularistik serta menjadi pedoman untuk membangun struktur politik yang
sesuai dengan nilai-nilai universal.
Terkait dengan konflik-konflik di Aceh, Ambon, dan Papua, kerangka pemikiran
di atas dapat menjadi acuan bagi kita untuk tidak lagi memahami nasionalisme
sebagai pemikiran untuk mempersatukan wilayah semata, namun juga sebagai
suatu nilai untuk menstimulasi aktivasi politik rakyat menuju kesadaran
sebagai warga negara yang berdaulat dan secara aktif membangun keberadaan
negara. Kewarganegaraan hendaknya menjadi landasan untuk membangun bangsa
Indonesia, menjadi inspirasi tiap penduduk yang tinggal terpencar bahwa
mereka adalah warga dari republik yang sama. Selain itu, kewarganegaraan
juga menjadi identitas nasional yang baru yang pada akhirnya menumbuhkan
suatu kesadaran adanya satu bangsa di mana tiap-tiap warga negara
bertanggung jawab satu sama lain. Dengan pemahaman konsep kewarganegaraan
ini maka nilai nasionalisme dapat didamaikan dengan prinsip HAM



Media Indonesia
Selasa, 02 November 2004
Sari Soenardi, Kandidat Doktor Filsafat UI


[Non-text portions of this message have been removed]